Latar Belakang
Dalam rangka menghadapi Pilgub Bali 2013, sengaja diangkat sebuah topic atau
judul tentang manajemen konflik soial di
Bali. Manajemen konflik atau conflik
management yang dimaksud adalah
manajemen dalam rangka mengatasi konflik, atau lebih populer dengan
istilah conflik resolution atau resolusi konflik. Bukan manajemen membuat
konflik seperti yang sering dipelesetkan
sebagian orang bahwa manajemen konflik sering diartikan sebagai
manajemen membuat konflik.
Topik atau judul konflik social diangkat, dilatar belakangi
oleh pemikiran yang berkaitan dengan
semakin maraknya konflik sosial yang melanda berbagai provinsi di Indonesia
yang sebagian diantaranya melibatkan masyarakat etnis Bali, yang juga membawa
dampak terhadap fenomena konflik social di provinsi Bali. Terlebih-lebih
menghadapi agenda politik pemilihan
Gubernur (Pilgub) di provinsi Bali yang
prosesnya sudah berlangsung sejak beberapa bulan lalu, dan pemungutan suaranya dilakukan pada tanggal 15
Mei 2013.
Konflik sosial yang melanda berbagai provinsi di wilayah
Indonesia akhir-akhir ini yang potensial maupun manivest, dapat membawa dampak
terhadap integrasi social. Kondisi seperti itu juga berlaku bagi provinsi Bali.
Fenomena konflik sosial cukup menonjol sejak bergulir reformasi tahun 1998
lalu. Apabila fenomena konflik social itu dikaitkan dengan fenomena
demokratisasi, ternyata fenomena itu di Bali tidak saja berlaku di perkotaan,
namun sudah menjamah pelosok-pelosok desa, walau sering di bungkus dengan
istilah konflik adat.
Pengaruh demokratisasi di Bali, geliatnya sudah mampu mempengaruhi
kehidupan demokrasi diberbagai pelosok desa. Permasalahannya, geliat
demokratisa itu banyak diwarnai oleh
demokrasi yang belum matang, karena berbagai pemahaman yang bias tentang
demokrasi yang diartikan sebagai sebuah kebebasan yang sebebas-bebasnya,
termasuk penegakan hukum dan keadilan yang belum optimal. Oleh karena itu, bagi
Bali yang akan melaksanakan perhelatan politik Pemilukada atau Pilgub 2013,
perlu mengantisipasi berbagai potensi
konflik social yang dapat menjadi pemicu
dan pemacu krisis social yang lebih parah. Antisipasi itu perlu dilakukan secara konsepsional, mulai
dari tahap pencegahannya sampai dengan
tahap penindakannya berdasar peraturan dan hukum yang berlaku, serta
kebijakan local atau local wisdom yang dimiliki Bali.
Pilgub Bali 2013 dan
Potensi Konfliknya
Pengamat politik nasional mengatakan bahwa tahun 2013 adalah
tahun politik. Perhelatan politik di
Bali yang cukup mengedepan tahun 2013
adalah perhelatan politik Pemilukada atau pemilihan Gubernur Bali atau Pilgub
Bali yang pemungutan suaranya akan berlangsung tanggal 15 Mei 2013. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali
telah menetapkan Keputusan Nomor: 02/Kpts/KPU-Prov-016/2012 tentang Tahapan,
Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Provinsi Bali Tahun 2013. Dari
tahapan, program dan jadwal yang telah disiapkan itu, beberapa kegiatan dari tahapan, program dan jadwal itu
ditengarai ada beberapa tahapan, program
dan jadwal yang perlu mendapat perhatian karena potensi konflik yang
dibawanya. Seperti halnya kegiatan
kampanye yang melibatkan masyarakat
banyak yang rawan dari konflik social yang mengundang kekerasan. Selain itu,
beberapa kegiatan lain juga perlu mendapat perhatian agar konflik social tidak
berkembang menjadi krisis social yang tidak terkendali.
Sampai dengan tulisan ini dibuat, beberapa tahapan, program
dan jadwal telah dilaksanakan, termasuk kegiatan kampanye. Tidak dapat
dipungkiri bahwa, beberapa program dan jadwal kegiatan yang telah dilaksanakan oleh masing-masing
bakal calon sudah mampu membawa suhu politik di Bali menjadi semakin
memanas. Suhu politik yang memanas
itulah yang menjadi embrio atau bibit-bibit lahirnya konflik social yang menjurus pada konflik yang destruktif.
Fanatisme sempit masing-masing pendukung calon , yang
dilatar belakangi oleh tidak
saja karena perbedaan ideology
dari masing-masing partai politik pengusung, lebih dari itu berbagai macam latar belakang kepentingan
juga ikut mewarnai dan memilitansi
fanatisme sempit masing-masing pendukung.
Terlebih-lebih bagi sebagian
besar masyarakat Bali tradisional yang
menurut pendekatan budaya, sudah terlanjur terkungkung dengan budaya mepapas atau budaya
berseberangan atau berlawanan dari
oposisi biner atau binary opposition. . Kondisi seperti ini sering-sering
ditafsirkan sebagai buah dari adanya paham
rva bhineda (dua berbeda) dalam budaya masyarakat Bali tradisional.
Kebiasaan mepapas
masyarakat Bali tradisional, cukup besar pengaruhnya terhadap berbagai
konflik social antar banjar, desa
pakraman, bahkan soroh, yang sering dibalut dengan istilah
konflik adat dan atau bahkan
konflik partai politik. Budaya mepapas
berkaitan dengan kesetiaan tradisional selain motif ekonomi perebutan sumber
daya, sentimen pribadi atau bahkan alasan-alasan lain yang mungkin diabaikan
bahkan tidak terduga Pengalaman
G.30.S/PKI yang populer dengan istilah Gestok di Bali di medio tahun enam puluhan (65, 66,67an), menunjukkan dampak mengerikan dari budaya mepapas itu.
Bunuh membunuh antar saudarapun tidak lagi terelakkan , karena sudah terlanjur
terbentuk polarisasi bipolar yang mepapas. [2]Sejatinya kondisi seperti ini
sangat bertentangan dengan pencitraan yang selama ini disandang Bali sebagai
pulau dewata, pulau surga, yang
masyarakatnya harmonis, apolitis dan suka damai.
Secara ideology, saat ini partai-partai politik di Bali yang mengusung masing-masing calonnya, sejatinya tidak ada
yang pantas diperdebatkan, karena masing-masing partai politik itu mengusung
ideology nasionalisme[3]. Apabila di Indonesia pernah berkembang paling tidak
tiga ideology besar yang cukup berbeda satu dengan lainnya dalam melakukan pertarungan politik berbasis ideology, hal itu pernah terjadi
pada era orde lama antara nasionalisme agama dan komunisme, (Nasakom). Pada era
orde baru kondisi itu bermetamorfosa menjadi
ideology nasionalisme berbasis
pembangunan (Golkar), nasionalisme berbasis
demokrasi yang egalitarian (PDI) serta agama berbasis kereligiusan
Islam. (PPP). Untuk kasus Bali,
sejak era orde lama dulu sampai dengan
orde baru, yang berpotensi menghasilkan bipolar
ideology partai politik selalu dua diantara tiga selain yang berbasis
kereligiusan Islam. Atas dasar itu, bipolar
yang dihasilkan pada era orde lama adalah bipolar antara PKI dan PNI, dan bipolar era orde baru antara PDI dengan Golkar. Polarisasi head to head antara PKI dan PNI pada era orde lama dan
head to head antara PDI dan Golkar pada era orde baru juga tidak dapat
dihindari. Walau awal-awal pasca
tumbangnya orde baru, Golkar terpinggirkan, dan diganti posisinya oleh PDI (P),
namun setelah lebih dari satu dasawarsa
sejak tumbangnya orde baru 1998, Golkar di Bali mulai menunjukkan kekuatannya sebagai partai politik,
penyeimbang dominasi PDIP bersama
beberapa partai politik lainnya seperti Partai Democrat, Gerindra, Hanura dan beberapa
partai-partai politik gurem lainnya.
Dalam Pilgub 2013, terjadi
polarisasi pendukung calon dari
PDIP dengan pendukung calon dari
partai Koalisi beberapa partai yang diperkirakan memiliki kekuatan
pendukung berdasar asumsi perolehan
suara atau kursi di DPRD Bali Pemilu Legeslatif tahun 2009, menunjukkan angka
yang berimbang. Kondisi bipolar seperti
ini menjadi alasan perlunya langkah antisipatif
dalam menyiapkan diri menghadapi
Pilgub 2013, agar konflik social tidak berkembang menjadi krisis social yang
tidak terkendali.
Di Bali, partai politik menjadi semacam terminal yang paling diminati untuk memosisikan diri
bagi seseorang atau kelompok tradisional
tertentu dalam menentukan sikapnya,
ketika orang lain atau kelompok lain yang dianggap berseberangan dengan dirinya
berada disebuah partai tertentu. Atmadja (2010) menyoroti masalah seperti ini
dalam buku Ajeg Balinya, dan mengupas tentang ‘konflik dan kekerasan orang
Bali’.
Digambarkan, peta konflik
disebuah desa di Buleleng pada era orde lama, yang potensinya masih dapat
berlaku sampai dengan saaat ini diseluruh pelosok Bali, diperkotaan maupun
desa.
“ Desa Pakraman di Padang Bulia memiliki dua Banjar, yakni
Banjar Pakraman Dajan Pura dan Banjar Pakraman Delod Pura. Kedua Banjar ini
memilih partai yang berbeda, yakni Banjar Pakraman Dajan Pura mengikuti PNI,
sedangkan Banjar Pakraman Delod Pura memasuki PKI. Pemilihan ini tidak hanya
mendasarkan pada perbedaan ideologi, yakni nasionalisme/marhaenisme dan
komunisme yang dianut oleh PNI dan PKI,
tetapi terkait dengan pertimbangan oposisi binary atau budaya mepapas. Artinya,
Banjar Pakraman Dajan Pura adalah
berlawanan dengan Banjar Pakraman Delod Pura, dilihat dari segi letak,
yakni Kaja-Kelod. Oposisi ini ditambah lagi dengan kondisi Banjar pakraman Delod
Pura, yakni warganya mayoritas kesatria
(pragusti) yang besar peranannya pada tingkat banjar maupun desa pakraman,
yakni sebagai elit politik tradisional. Sedangkan pada Banjar Pakraman Dajan
Pura kebanyakan wangsa jaba. Kaum Jaba tidak ingin terus menerus di
dominasi dan dihegemoni oleh pragusti. Untuk
menunjukkan perbedaan dan sekaligus resistensi mereka terhadap kondisi
ini maka kaum jaba memilih partai yang
berbeda, yakni PNI, bukan PKI sebagaimana yang dimasuki oleh pragusti” (Atmadja, 2010, hal 262-263)
Memperhatikan ilustrasi seperti diatas yang potensinya masih dapat berlaku pada situasi sekarang ini, khususnya dalam
kaitannya dengan pemosisian diri dalam pilihan-pilihan calon
Pilgub 2013 yang diusung oleh
partai politik, maka antisipasi terhadap
konflik social perlu ditingkatkan
melalui manajemen konflik.
Pokok-Pokok Manajemen
Konflik
Banyak difinisi tentang konflik (Lewis Coser, Dahrendorf,
Brown dll), tetapi yang untuk sementara ini cukup komprehensif adalah yang
dirumuskan oleh Mark R Amstutz, yang melihat konflik sebagai suatu “continum”,
disatu titik ekstrem “tak ada masalah/perbedaan” dan dititik ekstrem diseberang
ada titik “perbedaan/ketidak cocokan “.Diantara kedua titik itu terdapat :
tension, disagreement, rivalry, dispute, hostility, aggression, violence dan
warfare. Atau kalau hal itu dilihat sebagai pentahapan berjalannya suatu
konflik, maka ada tahap diskusi, dan jika masing-masing mau menangnya sendiri
proses berlanjut ketahap polarisasi, dan perkembangan selanjutnya jika tidak
ada lagi obyektivitas maka konflik memasuki tahap segregasi (saling menjauh,
putus komunikasi ), dan tahap paling berbahaya jika segregasi tidak bisa
ditangani secara baik, maka konflik memasuki tahap destruktif”.
Hampir diberbagai
wilayah Indonesia, termasuk Bali, saat
ini mengalami konflik social yang
sudah memasuki kontinum destruktif
dengan berbagai bentuk penyerangan (aggression), kekerasan (violence),
sampai dengan peperangan (warfare). Fenomena konflik social di
Bali yang destruktif, yang menggunakan
berbagai jenis senjata tradisional
seperti alu, bambu runcing,
arit, tombak, pedang, kelewang, dengan teriakan-teriakan yang mengerikan seperti
pragatang (selesaikan), bangkaang atau matiang (bunuh), tunjel (bakar),
merebak sampai kedesa-desa, yang
biasanya diawali dengan kulkul
bulus.
Manajemen konflik sejatinya manajemen untuk menghasilkan
perdamaian. Johan Galtung (2003) bahkan mengurai secara panjang lebar dalam
buku Studi Perdamaiannya (Peace by Peaceful Means: Peace and Conflik,
Development and Civization, 1996). Dikatakan bahwa; “Studi perdamaian sangat
mirip dengan studi kesehatan, sehingga segitiga diagnosis-prognosis-terapi
dapat diterapkan”. Menjadi sama pentingnya memperoleh diagnosis yang akurat
dengan prognosis atau ramalan serta terapi yang akan dilakukan
dalam menangani konflik. Kekeliruan dalam melakukan diagnosis membawa akibat
kekeliruan dalam melakukan prognosis termasuk
terapi yang akan dilakukan. Bahwa keberhasilan dalam mendiagnosis konflik social di Bali selama ini, menjadi modal yang baik dalam melakukan peramalan, khususnya peramalan
dalam rangka menghadapi Pilgub 2013, sehingga terapi yang disiapkan pun akan akurat, mulai dari pencegahan sampai dengan penindakannya apabila
pencegahan tidak dapat dilakukan.
Peta konflik diBali
selama ini, mulai dari konflik dilingkungan keluarga, meningkat ke
komunitas social yang lebih besar dari sekedar keluarga, banjar pakraman, desa
pakraman, soroh atau clan, sampai dengan
partai politik, dapat dijadikan
semacam diagnosis awal dari konflik social di Bali. Budaya mepapas
masyarakat Bali yang selama ini cukup
berkontribusi dalam melahirkan berbagai konflik social di Bali, sangat bermanfaat dalam
meramalkan eskalasi konflik yang akan dihadapi. Begitu juga dengan potensi konflik social antar pendukung calon dalam Pilgub 2013.
Perdamaian yang didambakan
dalam manajemen konflik dalam menghadapi Pilgub Bali 2013, semata-mata perdamaain yang terhindar dari konflik yang memasuki kontinum destruktif
dengan berbagai bentuk penyerangan (aggression), kekerasan (violence),
sampai dengan peperangan (warfare) antar pendukung calon. Oleh karena itu, focus manajemen konflik
yang perlu dilakukan adalah berbagai
kegiatan yang menjurus pada upaya
menciptakan perdamaian itu. Berbagai komponen masyarakat
di Bali yang mempunyai keterkaitan dengan penyelenggaraan Pilgub 2013 perlu berkomitmen untuk
menciptakan perdamaian itu.
Berkaitan dengan produk hukum, sejatinya pada tataran
nasional, Indonesia telah memiliki cukup banyak
produk hukum yang berkaitan dengan upaya menciptakan perdamaian atau
manajemen konflik. Diantara produk hukum itu, ada Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang berbagai urusan wajib yang wajib
diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota, berkaitan dengan urusan
kesatuan bangsa dan politik dalam negeri yang menyangkut masalah kewaspadaan
nasional, terhadap berbagai ancaman termasuk ancaman konflik social. Selain
itu, didalam Undang-Undang RI No 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, diatur juga tentang penanggulangan bencana social dari
akibat konflik social yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar
komunitas masyarakat, dan terror. Produk
hukum yang cukup baru berkaitan dengan
konflik social adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS)
serta Peraturan Presiden No 2 tahun 2013 tentang penanganan keamanan dalam
negeri, sebagai tindak lanjut dari UU PKS itu.
Langkah
Antisipatif Menangani Konflik Sosial
Pilgub Bali 2013
Karena manajemen konflik yang diharapkan
sejatinya adalah perdamaian, maka
UU PKS sejatinya telah mengatur
untuk menuju perdamaian itu.
Secara substansi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan
Konflik Sosial (PKS) terdiri dari Bab tentang Pencegahan Konflik, Bab tentang
Penghentian Konflik dan Bab tentang Pemulihan Pasca Konflik.
Secara umum menangani konflik social Pilgub Bali 2013, dapat
mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Undang-undang yang mengatur tata cara
menangani konflik sosial itu mengatur tata cara pencegahannya, penghentian
konflik dan penanganan pasca konflik. Pada tahap pencegahan, langkah-langkah antisipatif yang dapat
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. meliputi:
a. Memelihara kondisi
damai dalam masyarakat
Dalam memelihara kondisi damai ini, langkah antisipatif yang
dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang berpotensi menjadi actor konflik
(pemerintah, penyelenggara Pilgub serta masing-masing partai politik pengusung
calon beserta simpatisannya), adalah langkah antisipatif yang mampu
menghasilkan berbagai bentuk kegiatan yang bertujuan menciptakan kondisi damai.
Pihak pemerintah, pemerintah daerah serta penyelenggara Pilgub terus mendorong
partai politik pengusung calon beserta masyarakat umum untuk membuat berbagai
permufakatan damai. Banjar Pakraman sampai dengan Desa Pakraman, tempat
bermukimnya para pendukung masing-masing calon yang berasal dari parpol
pengusung maupun simpatisannya, menjadi tempat yang strategis untuk dibuatkan
berbagai kegiatan yang mengingatkan mereka untuk menjaga atau memelihara
perdamaian. Desa Pakraman yang terdiri dari banjar-banjar pakraman, adalah
basis massa sesungguhnya dalam komunitas adat di Bali. Mereka perlu dibuatkan
perjanjian damai diberbagai tingkatan, paling tidak mulai tingkat banjar
pakraman sampai dengan tingkat provinsi. Posisi penting banjar pakraman dan
desa pakraman sering menjadi rebutan kepentingan politik yang mampu menciptakan
perang saudara yang sangat mengerikan karena tindakan kekerasannya.
b. Mengembangkan
sistem penyelesaian perselisihan secara damai
Mengembangkan system penyelesaian perselisihan secara damai
selain menjadi bagian dari pointers perjanjian damai, berbagai konflik yang
tidak dapat dihindari dilapangan, harus segera diselesaikan dengan musyawarah
mufakat dan sangat menghindari
menggunakan cara-cara kekerasan.
Penekanan kepada tokoh-tokoh adat, agama, dan masyarakat untuk segera bertindak untuk mendamaikan
pihak-pihak yang berkonflik harus bisa
dilakukan. Pada tataran banjar pakraman sampai dengan desa pakraman, peran
kelian banjar pakraman dan kelian
desa pakraman sangat diharapkan.
c. Meredam potensi
Konflik;
Untuk bisa meredam potensi konflik, aparat penegak hukum
pada tataran banjar pakraman sampai dengan desa pakraman atau kelurahan perlu
meningkatkan upaya penegakan hukumnya yang tanpa diskriminasi. Berbagai bentuk
kegiatan dalam rangka mengintensifkan dialog antar kelompok masyarakat mulai
dari tataran banjar pakraman , desa pakraman, sampai dengan tataran yang paling
tinggi ditingkat provinsi, perlu dilaksanakan untuk dapat meredam potensi
konflik.
d. Membangun sistem
peringatan dini
Dalam membangun system peringatan dini, langkah awal yang perlu dilakukan, pada
tataran organisasi masyarakat yang paling rendah ditingkat banjar pakraman,
desa pakraman, sampai dengan tataran yang paling tinggi ditingkat provinsi,
perlu dibuat wilayah potensi konflik,
yang melalui berbagai media komunikasi, dapat disampaikan berbagai
informasi mengenai potensi konflik atau
terjadinya konflik di daerah tertentu kepada masyarakat. Dengan berjalannya
system peringatan dini, diharapkan konflik yang lebih besar dapat dihindari.
Pada tahap pencegahan, sangat penting peran pemerintah daerah dalam memelihara
kondisi damai dalam masyarakat, mengembangkan system penyelesaian perselisihan
secara damai, meredam potensi konflik dan membangun system peringatan dini.
Pemerintah daerah yang menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2007, Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, khususnya
yang menyangkut urusan kesatuan bangsa, maka
pemerintah daerah sangat dituntut untuk mencegah terjadinya konflik
social di daerah. Begitu juga dengan
konflik social dalam rangka Pilgub Bali 2013.
Apabila pencegahan tidak dapat dilakukan dengan baik
sehingga konflik social tidak dapat dihindari, maka penghentian konflik harus dilakukan sampai dengan penanganan
pasca konfliknya oleh pihak berwewenang yang juga telah diatur dalam dan menurut
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS).
Penghentian konflik yang diatur dalam UU PKS
itu lebih menekankan langkah-langkah represif yang perlu dilakukan oleh aparat
berwewenang yang dikoordinasikan dan
dikendalikan oleh Polri. Pada tulisan ini hal itu tidak dibahas, termasuk
penanganan pasca konfliknya. Tulisan ini lebih menekankan pada tahap pencegahan
konflik, sebagai langkah antisipatif
agar konflik social tidak berkembang menjadi konflik yang destruktif.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, mengalir dari pembahasan diatas,
maka kesimpulan yang dapat dibangun
adalah:
Pemda Pemprov Bali maupun Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, perlu mengantisiapasi
potensi konflik social di Bali dalam
rangka Pilgub 2013. Langkah antisipasi itu lebih ditekankan pada upaya
pencegahan terjadinya konflik social diantara
partai politik pendukung masing-masing calon beserta simpatisannya, termasuk antara partai
politik pendukung calon dengan penyelenggra Pilgub yang mengarah pada
konflik social destruktif.
Menjadi prioritas bagi pemprov Bali maupun Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota, untuk menginisiasi berbagai upaya menuju perdamaian
dilingkungan masyarakat, mulai dari lingkungan masyarakat banjar pakraman, desa
pakraman sampai dengan organisasi masyarakat tingkat provinsi. Hal yang sama
juga dilakukan dilingkungan partai politik, dalam rangka mencegah konflik social dengan kekerasan.
Daftar Bacaan:
Modul Manajemen Konflik Kewaspadaan Nasional Lemhannas RI ,
2012
Galtung, Johan, 2003 Stdi Perdamaian . Perdamaain dan Konflik,
Pembangunan dan Peradaban,(terj) , Pustaka Eureka , Surabaya
Robinson, Geoffrey, 2005 Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah
Kekerasan Politik,LkiS, Yogjakarta
http://www.panwaslu-baliprov.net/, Jadwal Tahapan Pilgub
Bali 2013