Foto : http://kishi-kun.blogspot.com
|
Korupsi jelas dipandang sebagai suatu persoalan
masyarakat bagi banyak disiplin ilmu. Ini bukan berarti pengetahuan yang telah
dihasilkan dapat memberikan pemahaman agak komprehensif. Keterbatasannya
terletak pada masing-masing disiplin ilmu maupun sebagai suatu pendekatan yang
multidisipliner jika berbagai disiplin ilmu tadi digabungkan dalam menganalisa
korupsi.
Pada persoalan yang pertama, setiap disiplin ilmu baru
memberikan pengetahuan tentang korupsi dari aspek yang terbatas. Setiap
perspektif mempunyai definisi, lingkup, isu pokok, dan konsep-konsep utama.
Perspektif kultural berpegang pada pandangan bahwa korupsi atau tidak suatu
tindakan tergantung pada pemberian makna oleh masyarakatnya. Pendekatan ini
paling kritis dalam menilai definisi yang baku tentang korupsi yang berdasar
pada definisi legal dimana korupsi merupakan pelanggaran atas aturan formal.
Pemberian makna merupakan suatu proses yang dibentuk
oleh struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam pendekatan antropologis juga
dilihat masalah representasi: kelompok manakah yang terlibat, bagaimana mereka
mengartikan korupsi, di arena sosial mana korupsi dibahas, terhadap kelompok
mana label korupsi diberikan, dan sebagainya.
Perspektif politik melihat korupsi yang menggunakan
organisasi, sistem dan institusi politik, seperti partai politik, badan
eksekutif, badan legislatif, dan badan pemilihan umum. Moral yang digunakan
bisa berbentuk ideologi seperti demokrasi, prinsip dan aturan demokrasi, tujuan
negara yang biasanya mencakup keadilan dan kesejahteraan yang luas, atau sistem
hukum yang berlaku. Tindakan korupsi melanggar moral di atas melalui instrumen
politik.
Pendekatan ekonomi politik meletakkan dalam konteks
hubungan jalin menjalin antara kepentingan politik dan ekonomi serta
implikasinya. Menonjol dalam aliran ini adalah Johnston yang melihat
bahwa oportunitas politik dan ekonomi membentuk pola-pola korupsi. Organisasi
dan institusi negara, terutama yang berkaitan dengan institusi politik dan
pembangunan, dimanfaatkan untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungkan
kelompok tertentu.
Transisi demokrasi juga menghasilkan situasi kritis berkembangnya
korupsi. Hal ini disebabkan lemahnya institusi politik dan pasar memungkinkan
berkembangnya berbagai praktik tidak absah, seringkali kemudian berkembang
menjadi terorganisasi dan dilindungi oleh praktik kekerasan. Selanjutnya ini
lebih menghambat praktik demokrasi dan ekonomi yang sehat.
Korupsi politik adalah penyalahgunaan lembaga-lembaga
politik, seperti partai politik, lembaga pemilihan umum, badan pembangunan,
parlemen, dan badan perencanaan pembangunan. Lembaga pemilihan umum adalah alat
legitimasi yang tersedia dalam sistem demokrasi untuk memilih pemimpin. Di
banyak negara berkembang dan transisional, perangkat demokrasi mungkin lengkap
didirikan, namun pelaksanaannya tergantung pada pada sejumlah organisasi,
mekanisme, dan kultur politik yang menopangnya untuk berjalan dengan
jujur.
Korupsi oleh partai politik juga sering dibahas.
Partai digambarkan sebagai alat tawar-menawar dalam membagi kekuasaan dan akses
terhadap sumber daya publik, baik untuk organisasi maupun individu. Korupsi
yang terjadi oleh partai bukan saja menyangkut penyelewenangan dana publik
untuk tujuan yang absah. Korupsi juga bisa bersifat lebih kompleks, yaitu dalam
arti menjual kepercayaan pemilih untuk mencapau tujuan yang lain.
Perspektif legal mendefinisikan korupsi sebagai
tindakan yang tidak mengikuti aturan hukum. Persoalan korupsi dilihat sebagai
kelemahan rumusan hukum dan prosedur penegakan hukum. Definisi menurut
perspektif legal terbatas pada rumusan dan prosedur. Latar belakang aktor,
konstalasi politik, karakter kenegaraan, tidak dilihat dalam persoalan korupsi.
Perspektif ekonomi melihat korupsi sebagai persoalan
penyimpangan alokasi sumber daya yang “seharusnya”. Melihat inefisiensi dalam dan
terhadap institusi pasar dan korupsi sebagai upaya maksimasi keuntungan. Faktor
risiko dan ada tidak adanya alternatif termasuk yang diperhitungkan dalam
penentuan “harga” korupsi.
Perspektif sosiologis melihat persoalan korupsi
sebagai persoalan institusional yang terdiri dari jaringan norma. Organisasi
(publik) mempunyai karakter dibentuk maupun untuk merespon lingkungan
institusional. Jadi persoalan korupsi juga persoalan keterkaitan kelemahan
hubungan antara lembaga (dalam artian lebih abstrak) dan organisasi. Jaringan
aktor merupakan salah satu fokus perhatian perspektif ini. Jaringan aktor
merupakan jembatan untuk mengakses sumber daya di organisasi lain.
Melihat persoalan korupsi hanya dengan satu dua
perspektif jelas tidak memadai untuk negara dengan tingkat korupsi luas seperti
Indonesia. Belakangan ini sifatnya semakin mendalam secara substantif.
Bentuk, latar belakang aktor, dan mekanisme korupsinya semakin beragam. Hal ini
bisa dicontohkan dalam kasus Bank Century, ekonomi ilegal dan pencucian uang,
dan kasus M. Nazaruddin. Kasus-kasus tersebut melibatkan aktor yang berada
dalam organisasi yang berbeda. Pembahasan korupsi model kasus Nazaruddin belum
banyak dibahas di tingkat internasional, menunjukkan keseriusan korupsi di
Indonesia.
Kasus-kasus di Indonesia bukan hanya pelanggaran
hukum, apalagi hukum itu sendiri mempunyai persoalan lemah legitimasi karena
antara lain dibuat oleh politisi parlemen yang tidak dipercaya publik.
Persoalan korupsi mengandung dimensi antropologis dimana terjadi perubahan
pemaknaan ke arah pragmatisme luar biasa. Jelas sekali mengandung dimensi
politik karena melibatkan eksistensi parta-partai dan instrumen
kenegaraan.
Sangat jarang studi yang mengembangkan suatu kerangka
interdisipliner secara khusus sebelum dilakukan studi. Itulah sebabnya yang
banyak dilakukan selama ini lebih sebagai pendekatan eklektik, artinya berupaya
memasukan berbagai pertanyaan dari berbagai disiplin. Bahkan dalam hal inipun,
upaya yang sistematik terhadap persoalan korupsi sangat jarang dilakukan.
Studi tentang korupsi yang berskala besar kebanyakan
dilakukan oleh organisasi pembangunan internasional atau asing. Studi semacam
ini bertujuan pada aksi, yang dalam hal ini aksi mengatasi persoalan korupsi.
Studi yang dibiayai program donor fokus pada lembaga-lembaga publik, seperti
kantor pajak, peradilan, pelayanan publik, atau kepolisian. Aspek yang
banyak dilihat adalah governansi dari lembaga-lembaga tersebut, khususnya dari
kinerja struktur dan aturan formal.
Untuk Indonesia, persoalan korupsi harus menjawab
dimensi, a) persoalan pengalokasian sumber daya dan dampaknya bagi
kesejahteraan masyarakat; (b) persoalan politik dan kepentingan; (c) persoalan
kultural dan normatif; (d) persoalan hukum formal; (e) persoalan interaksi oleh
aktor individu, organisasi, dan kelembagaan; dan (f) persoalan transformasi
organisasi dan kelembagaan. Dimensi yang masih belum banyak diketahui adalah
kararakter jaringan yang mengakses beberapa organisasi, rumusan relasi
antar-lembaga yang menimbulkan celah korupsi, serta munculnya organisasi baru
(atau reinterpretasi fungsi) sebagai mekanisme korupsi.
Meuthia Ganie-Rochman
Ahli sosiologi organisasi, mengajar di Universitas
Indonesia.
Sumber : http://www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2012/03/27/253/Memahami-Korupsi-Indonesia