Kamis, 05 Juli 2012

KETIKA ISLAM BICARA KORUPSI


Oleh : Isna Noor Fitria

Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan istilah yang secara khusus merunut tentang adanya korupsi. Tapi, ada beberapa istilah yang digunakan dalam Islam untuk menyebut apa yang kemudian disebut sebagai korupsi. Istilah-istilah tersebut adalah:


Pertama, ghulul yang secara leksikal berarti pengkhianatan. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan perbuatan seseorang yang melakukan pengkhianatan dengan penggelapan harta. Dalam QS. Ali Imran ayat 161 disebutkan:
Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya” (QS. Ali Imran :161)
Ayat ini turun berkenaan dengan tuduhan orang-orang munafik terhadap Nabi bahwa beliau telah mengambil dan menyembunyikan harta rampasan yang berupa selimut. Ayat ini diturunkan untuk menolak tuduhan tersebut. Dalam konteks korupsi, ghulul ialah korupsi yang dilakukan diri sendiri tanpa melibatkan orang lain.


Kedua, risywah. Secara tekstual risywah berarti upah, hadiah, pemberian atau komisi. Sedangkan secara terminologi, risywah ialah suap yakni pemberian seseorang kepada orang lain yang bertujuan untuk membatalkan kepemilikan harta atas orang lain atau mengambil hak kepemilikan orang lain tersebut. Rasulullah sendiri sangat membenci tindakan suap ini berdasarkan hadits:
Orang yang memberi suap dan menerima suap ada di dalam neraka.”
Al-Qur’an menyebut istilah suap dengan ‘ad-dalw’ yang diartikan sebagai memperoleh harta orang lain dengan jalan suap. Dalam QS. Albaqarah ayat 188 disebutkan:

Simbol Korupsi/majalah.hidayatullah.com
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 188)

Ketiga, al-suht yang secara leksikal berarti membinasakan dan digunakan untuk melukiskan binatang yang sangat rakus dalam memperoleh makanan. Seseorang yang melahap harta dan tidak peduli dari mana harta tersebut didapat, ia disamakan dengan binatang yang melahap segala macam makanan hingga membinasakannya. Dalam QS. Al-Maidah ayat 42 disebutkan:

“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil” (QS. Al-Maidah: 42)
Dalam ayat ini, kata al-suht diartikan dengan suap. Menurut Ibnu Mas’ud, “al-suht” ialah seseorang datang menemui saudaranya dengan satu kepentingan, lalu ia memberi hadiah kemudian orang itu menerimanya.



Keempat, al hirabah yang berarti merampas harta orang lain. Dalam QS. Al Maidah ayat 33 disebutkan:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar” (QS. Al-Maidah: 33)

Aksi hirabah dapat dilakukan oleh seseorang atau segerombolan orang untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta yang secara terang-terangan dan mengganggu ketertiban sosial. Ahli fiqh menyebut pelaku hirabah dengan “qathi’ al-thariq” atau penyamun.


Kelima, al-saraqah yang berarti mengambil harta orang lain secara rahasia dan melawan hukum. Mengambil harta secara tersembunyi tentu berkembang modus operandinya dalam konteks korupsi, bisa dengan penggelapan, penggelembungan dana fiktif, pungutan liar dan lain sebagainya. Dalam Al-Qur’an, saraqah disebutkan dalam QS. Al-Maidah ayat 38, yakni:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Maidah: 38)
Dalam ayat ini disebutkan hukuman yang diterima oleh pencuri yaitu potong tangan.


Keenam, ghasab yang berarti merampas harta orang lain dengan cara zhalim atau mengambil hak orang lain yang berharga dan berniat mengembalikannya. Dalam Al-Qur’an, ghasab disebutkan dalam QS. Al-Kahfi ayat 79, yaitu:

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera” (QS. Al-Kahfi: 79)
Ayat ini menceritakan kisah perompak yang merampas perahu anak yatim sehingga Khaidir menyelamatkannya dengan cara merusaknya. Meskipun berniat mengembalikan harta yang dikorupsi, seorang yang melakukan korupsi tetap saja disebut sebagai koruptor.


Tentang penulis :
Isna Noor Fitria dilahirkan di kota seribu sungai, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sekarang melanjutkan sisa nafas di kota Metropolitan, Surabaya sambil menekuni buku-buku hukum di IAIN Sunan Ampel, Surabaya. www.kompasiana.com/isnafitria 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar