Minggu, 26 Mei 2013

MANAJEMEN KONFLIK MENGATASI KONFLIK SOSIAL : LANGKAH ANTISIPATIF MENGHADAPI PILGUB BALI 2013

Latar Belakang

Dalam rangka menghadapi Pilgub Bali  2013, sengaja diangkat sebuah topic atau judul tentang  manajemen konflik soial di Bali.  Manajemen konflik atau conflik management yang dimaksud adalah  manajemen dalam rangka mengatasi konflik, atau lebih populer dengan istilah conflik resolution atau resolusi konflik. Bukan manajemen membuat konflik seperti yang sering dipelesetkan  sebagian orang bahwa manajemen konflik sering diartikan sebagai manajemen membuat konflik.

Topik atau judul konflik social diangkat, dilatar belakangi oleh  pemikiran yang berkaitan dengan semakin maraknya konflik sosial yang melanda berbagai provinsi di Indonesia yang sebagian diantaranya melibatkan masyarakat etnis Bali, yang juga membawa dampak terhadap fenomena konflik social di provinsi Bali. Terlebih-lebih menghadapi  agenda politik pemilihan Gubernur (Pilgub) di provinsi Bali  yang prosesnya sudah berlangsung sejak beberapa bulan lalu, dan  pemungutan suaranya dilakukan pada tanggal 15 Mei 2013.

Konflik sosial yang melanda berbagai provinsi di wilayah Indonesia akhir-akhir ini yang potensial maupun manivest, dapat membawa dampak terhadap integrasi social. Kondisi seperti itu juga berlaku bagi provinsi Bali. Fenomena konflik sosial cukup menonjol sejak bergulir reformasi tahun 1998 lalu. Apabila fenomena konflik social itu dikaitkan dengan fenomena demokratisasi, ternyata fenomena itu di Bali tidak saja berlaku di perkotaan, namun sudah menjamah pelosok-pelosok desa, walau sering di bungkus dengan istilah konflik adat.

Pengaruh demokratisasi di Bali, geliatnya sudah mampu mempengaruhi kehidupan demokrasi diberbagai pelosok desa. Permasalahannya, geliat demokratisa itu  banyak diwarnai oleh demokrasi yang belum matang, karena berbagai pemahaman yang bias tentang demokrasi yang diartikan sebagai sebuah kebebasan yang sebebas-bebasnya, termasuk penegakan hukum dan keadilan yang belum optimal. Oleh karena itu, bagi Bali yang akan melaksanakan perhelatan politik Pemilukada atau Pilgub 2013, perlu mengantisipasi  berbagai potensi konflik social yang  dapat menjadi pemicu dan pemacu krisis social yang lebih parah. Antisipasi itu  perlu dilakukan secara konsepsional, mulai dari tahap pencegahannya sampai dengan  tahap penindakannya berdasar peraturan dan hukum yang berlaku, serta kebijakan local atau local wisdom yang dimiliki Bali.

Pilgub Bali 2013 dan Potensi Konfliknya

Pengamat politik nasional mengatakan bahwa tahun 2013 adalah tahun politik. Perhelatan  politik di Bali  yang cukup mengedepan tahun 2013 adalah perhelatan politik Pemilukada atau pemilihan Gubernur Bali atau Pilgub Bali yang pemungutan suaranya akan berlangsung tanggal 15 Mei 2013.   Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali telah menetapkan Keputusan Nomor: 02/Kpts/KPU-Prov-016/2012 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Bali Tahun 2013. Dari  tahapan, program dan jadwal yang telah disiapkan itu, beberapa  kegiatan dari tahapan, program dan jadwal itu ditengarai  ada beberapa tahapan, program dan jadwal yang perlu mendapat perhatian karena potensi konflik yang dibawanya.  Seperti halnya kegiatan kampanye yang melibatkan  masyarakat banyak  yang rawan dari konflik social  yang mengundang kekerasan. Selain itu, beberapa kegiatan lain juga perlu mendapat perhatian agar konflik social tidak berkembang menjadi krisis social yang tidak terkendali.

Sampai dengan tulisan ini dibuat, beberapa tahapan, program dan jadwal telah dilaksanakan, termasuk kegiatan kampanye. Tidak dapat dipungkiri bahwa, beberapa program dan jadwal kegiatan  yang telah dilaksanakan oleh masing-masing bakal calon sudah mampu membawa suhu politik di Bali menjadi semakin memanas.  Suhu politik yang memanas itulah yang menjadi embrio atau bibit-bibit lahirnya konflik social  yang menjurus pada konflik yang destruktif.

Fanatisme sempit masing-masing pendukung calon , yang dilatar belakangi  oleh  tidak  saja karena perbedaan  ideology dari masing-masing partai politik pengusung, lebih dari itu  berbagai macam latar belakang kepentingan juga ikut mewarnai  dan memilitansi fanatisme sempit masing-masing pendukung.  Terlebih-lebih bagi sebagian  besar masyarakat Bali tradisional yang  menurut pendekatan budaya, sudah terlanjur  terkungkung dengan budaya mepapas atau budaya berseberangan atau berlawanan  dari oposisi biner atau binary opposition. . Kondisi seperti ini sering-sering ditafsirkan sebagai  buah dari  adanya paham  rva bhineda (dua berbeda) dalam budaya masyarakat Bali tradisional.

Kebiasaan mepapas  masyarakat Bali tradisional, cukup besar pengaruhnya terhadap berbagai konflik social  antar banjar, desa pakraman,  bahkan  soroh, yang sering dibalut dengan istilah konflik adat dan atau  bahkan konflik  partai politik. Budaya mepapas berkaitan dengan kesetiaan tradisional selain motif ekonomi perebutan sumber daya, sentimen pribadi atau bahkan alasan-alasan lain yang mungkin diabaikan bahkan tidak terduga Pengalaman  G.30.S/PKI yang populer dengan istilah Gestok di Bali  di medio tahun enam puluhan  (65, 66,67an), menunjukkan  dampak mengerikan dari budaya mepapas itu. Bunuh membunuh antar saudarapun tidak lagi terelakkan , karena sudah terlanjur terbentuk polarisasi bipolar yang mepapas. [2]Sejatinya kondisi seperti ini sangat bertentangan dengan pencitraan yang selama ini disandang Bali sebagai pulau  dewata, pulau surga, yang masyarakatnya harmonis, apolitis dan suka damai.

Secara ideology, saat ini partai-partai politik  di Bali yang mengusung  masing-masing calonnya, sejatinya tidak ada yang pantas diperdebatkan, karena masing-masing partai politik itu mengusung ideology nasionalisme[3]. Apabila di Indonesia pernah berkembang paling tidak tiga ideology besar yang cukup berbeda satu dengan lainnya dalam  melakukan pertarungan politik  berbasis ideology, hal itu pernah terjadi pada era orde lama antara nasionalisme agama dan komunisme, (Nasakom). Pada era orde baru kondisi itu bermetamorfosa menjadi  ideology nasionalisme  berbasis pembangunan (Golkar), nasionalisme berbasis  demokrasi yang egalitarian (PDI) serta agama berbasis kereligiusan Islam. (PPP).  Untuk kasus Bali, sejak  era orde lama dulu sampai dengan orde baru, yang berpotensi menghasilkan bipolar  ideology partai politik selalu dua diantara tiga selain yang berbasis kereligiusan Islam. Atas dasar itu, bipolar  yang dihasilkan pada era orde lama adalah bipolar  antara PKI dan PNI, dan bipolar  era orde baru antara PDI dengan Golkar.  Polarisasi head to head  antara PKI dan PNI pada era orde lama dan head to head  antara PDI dan Golkar  pada era orde baru juga tidak dapat dihindari. Walau awal-awal  pasca tumbangnya orde baru, Golkar terpinggirkan, dan diganti posisinya oleh PDI (P), namun setelah lebih dari satu dasawarsa  sejak tumbangnya orde baru 1998, Golkar di Bali mulai menunjukkan  kekuatannya sebagai partai politik, penyeimbang dominasi  PDIP bersama beberapa partai politik lainnya seperti Partai Democrat,  Gerindra, Hanura dan beberapa partai-partai  politik gurem lainnya.

Dalam Pilgub 2013, terjadi  polarisasi  pendukung  calon dari  PDIP dengan pendukung  calon dari partai Koalisi beberapa partai yang diperkirakan memiliki kekuatan pendukung  berdasar asumsi perolehan suara atau kursi di DPRD Bali Pemilu Legeslatif tahun 2009, menunjukkan angka yang berimbang.  Kondisi bipolar seperti ini menjadi alasan perlunya langkah antisipatif  dalam  menyiapkan diri menghadapi Pilgub 2013, agar konflik social tidak berkembang menjadi krisis social yang tidak terkendali.

Di Bali, partai politik menjadi semacam terminal  yang paling diminati untuk memosisikan diri bagi seseorang atau kelompok tradisional  tertentu dalam  menentukan sikapnya, ketika orang lain atau kelompok lain yang dianggap berseberangan dengan dirinya berada disebuah partai tertentu. Atmadja (2010) menyoroti masalah seperti ini dalam buku Ajeg Balinya, dan mengupas tentang ‘konflik dan kekerasan orang Bali’. 

Digambarkan, peta konflik disebuah desa di Buleleng pada era orde lama, yang potensinya masih dapat berlaku sampai dengan saaat ini diseluruh pelosok Bali, diperkotaan maupun desa.

“ Desa Pakraman di Padang Bulia memiliki dua Banjar, yakni Banjar Pakraman Dajan Pura dan Banjar Pakraman Delod Pura. Kedua Banjar ini memilih partai yang berbeda, yakni Banjar Pakraman Dajan Pura mengikuti PNI, sedangkan Banjar Pakraman Delod Pura memasuki PKI. Pemilihan ini tidak hanya mendasarkan pada perbedaan ideologi, yakni nasionalisme/marhaenisme dan komunisme yang dianut oleh PNI dan  PKI, tetapi terkait dengan pertimbangan oposisi binary atau budaya mepapas. Artinya, Banjar Pakraman Dajan Pura  adalah berlawanan dengan Banjar Pakraman Delod Pura, dilihat dari segi  letak,  yakni Kaja-Kelod. Oposisi ini ditambah lagi  dengan kondisi Banjar pakraman Delod Pura,  yakni warganya mayoritas kesatria (pragusti) yang besar peranannya pada tingkat banjar maupun desa pakraman, yakni sebagai elit politik tradisional. Sedangkan pada Banjar Pakraman Dajan Pura  kebanyakan wangsa jaba.  Kaum Jaba tidak ingin terus menerus di dominasi dan dihegemoni oleh pragusti. Untuk  menunjukkan perbedaan dan sekaligus resistensi mereka terhadap kondisi ini maka kaum  jaba memilih partai yang berbeda, yakni PNI, bukan PKI sebagaimana yang dimasuki oleh pragusti”  (Atmadja, 2010, hal  262-263)
Memperhatikan ilustrasi seperti  diatas yang potensinya  masih dapat berlaku  pada situasi sekarang ini, khususnya dalam kaitannya dengan pemosisian diri dalam pilihan-pilihan  calon  Pilgub 2013 yang  diusung oleh partai politik, maka antisipasi  terhadap konflik social perlu ditingkatkan  melalui manajemen konflik.

Pokok-Pokok Manajemen Konflik

Banyak difinisi tentang konflik (Lewis Coser, Dahrendorf, Brown dll), tetapi yang untuk sementara ini cukup komprehensif adalah yang dirumuskan oleh Mark R Amstutz, yang melihat konflik sebagai suatu “continum”, disatu titik ekstrem “tak ada masalah/perbedaan” dan dititik ekstrem diseberang ada titik “perbedaan/ketidak cocokan “.Diantara kedua titik itu terdapat : tension, disagreement, rivalry, dispute, hostility, aggression, violence dan warfare. Atau kalau hal itu dilihat sebagai pentahapan berjalannya suatu konflik, maka ada tahap diskusi, dan jika masing-masing mau menangnya sendiri proses berlanjut ketahap polarisasi, dan perkembangan selanjutnya jika tidak ada lagi obyektivitas maka konflik memasuki tahap segregasi (saling menjauh, putus komunikasi ), dan tahap paling berbahaya jika segregasi tidak bisa ditangani secara baik, maka konflik memasuki tahap destruktif”.

Hampir  diberbagai wilayah  Indonesia, termasuk Bali, saat ini  mengalami konflik social yang sudah  memasuki kontinum  destruktif  dengan berbagai bentuk penyerangan (aggression), kekerasan (violence), sampai dengan  peperangan  (warfare). Fenomena konflik social di Bali  yang destruktif, yang menggunakan berbagai jenis senjata tradisional  seperti  alu, bambu  runcing,  arit, tombak, pedang, kelewang, dengan teriakan-teriakan yang mengerikan  seperti  pragatang (selesaikan), bangkaang atau matiang (bunuh), tunjel (bakar), merebak sampai kedesa-desa, yang  biasanya  diawali dengan kulkul bulus.

Manajemen konflik sejatinya manajemen untuk menghasilkan perdamaian. Johan Galtung (2003) bahkan mengurai secara panjang lebar dalam buku Studi Perdamaiannya (Peace by Peaceful Means: Peace and Conflik, Development and Civization, 1996). Dikatakan bahwa; “Studi perdamaian sangat mirip dengan studi kesehatan, sehingga segitiga diagnosis-prognosis-terapi dapat diterapkan”. Menjadi sama pentingnya memperoleh diagnosis yang akurat dengan  prognosis atau  ramalan serta terapi yang akan dilakukan dalam menangani konflik. Kekeliruan dalam melakukan diagnosis membawa akibat kekeliruan dalam melakukan prognosis termasuk  terapi yang akan dilakukan. Bahwa keberhasilan dalam  mendiagnosis konflik social  di Bali selama ini, menjadi modal  yang baik dalam  melakukan peramalan, khususnya peramalan dalam rangka menghadapi Pilgub 2013, sehingga terapi yang disiapkan pun  akan akurat, mulai dari pencegahan  sampai dengan penindakannya apabila pencegahan tidak dapat dilakukan.

Peta konflik diBali  selama ini, mulai dari konflik dilingkungan keluarga, meningkat ke komunitas social yang lebih besar dari sekedar keluarga, banjar pakraman, desa pakraman,  soroh atau clan, sampai dengan partai politik, dapat dijadikan   semacam  diagnosis awal dari  konflik social di Bali. Budaya mepapas masyarakat Bali yang selama ini  cukup berkontribusi  dalam  melahirkan berbagai konflik social  di Bali, sangat bermanfaat  dalam  meramalkan eskalasi konflik yang akan dihadapi. Begitu juga dengan  potensi konflik social  antar pendukung calon  dalam Pilgub 2013.

Perdamaian yang didambakan  dalam  manajemen konflik  dalam menghadapi  Pilgub Bali 2013,  semata-mata perdamaain yang  terhindar dari konflik yang  memasuki kontinum  destruktif  dengan berbagai bentuk penyerangan (aggression), kekerasan (violence), sampai dengan  peperangan  (warfare) antar pendukung calon.  Oleh karena itu, focus manajemen konflik yang  perlu dilakukan adalah  berbagai  kegiatan yang menjurus pada upaya  menciptakan perdamaian itu. Berbagai komponen  masyarakat  di Bali yang  mempunyai  keterkaitan dengan  penyelenggaraan  Pilgub 2013 perlu berkomitmen untuk menciptakan perdamaian itu.

Berkaitan dengan produk hukum, sejatinya pada tataran nasional, Indonesia telah memiliki cukup banyak  produk hukum yang berkaitan dengan upaya menciptakan perdamaian atau manajemen konflik. Diantara produk hukum itu, ada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang berbagai urusan wajib yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan  urusan kesatuan bangsa dan politik dalam negeri yang menyangkut masalah kewaspadaan nasional, terhadap berbagai ancaman termasuk ancaman konflik social. Selain itu,  didalam  Undang-Undang RI No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, diatur juga tentang penanggulangan bencana social dari akibat konflik social yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan terror.  Produk hukum yang cukup baru berkaitan dengan  konflik social adalah  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS) serta Peraturan Presiden No 2 tahun 2013 tentang penanganan keamanan  dalam  negeri, sebagai tindak lanjut dari UU PKS itu.

Langkah Antisipatif  Menangani Konflik Sosial Pilgub Bali 2013

Karena manajemen konflik yang  diharapkan  sejatinya adalah perdamaian, maka  UU PKS sejatinya telah mengatur  untuk menuju perdamaian itu.  Secara substansi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS) terdiri dari Bab tentang Pencegahan Konflik, Bab tentang Penghentian Konflik dan Bab tentang Pemulihan Pasca Konflik.

Secara umum menangani konflik social Pilgub Bali 2013, dapat mengacu pada  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Undang-undang yang mengatur tata cara menangani konflik sosial itu mengatur tata cara pencegahannya, penghentian konflik dan penanganan pasca konflik. Pada tahap pencegahan,  langkah-langkah antisipatif yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. meliputi:

a. Memelihara kondisi damai dalam masyarakat

Dalam memelihara kondisi damai ini, langkah antisipatif yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang berpotensi menjadi actor konflik (pemerintah, penyelenggara Pilgub serta masing-masing partai politik pengusung calon beserta simpatisannya), adalah langkah antisipatif yang mampu menghasilkan berbagai bentuk kegiatan yang bertujuan menciptakan kondisi damai. Pihak pemerintah, pemerintah daerah serta penyelenggara Pilgub terus mendorong partai politik pengusung calon beserta masyarakat umum untuk membuat berbagai permufakatan damai. Banjar Pakraman sampai dengan Desa Pakraman, tempat bermukimnya para pendukung masing-masing calon yang berasal dari parpol pengusung maupun simpatisannya, menjadi tempat yang strategis untuk dibuatkan berbagai kegiatan yang mengingatkan mereka untuk menjaga atau memelihara perdamaian. Desa Pakraman yang terdiri dari banjar-banjar pakraman, adalah basis massa sesungguhnya dalam komunitas adat di Bali. Mereka perlu dibuatkan perjanjian damai diberbagai tingkatan, paling tidak mulai tingkat banjar pakraman sampai dengan tingkat provinsi. Posisi penting banjar pakraman dan desa pakraman sering menjadi rebutan kepentingan politik yang mampu menciptakan perang saudara yang sangat mengerikan karena tindakan kekerasannya.

b. Mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai

Mengembangkan system penyelesaian perselisihan secara damai selain menjadi bagian dari pointers perjanjian damai, berbagai konflik yang tidak dapat dihindari dilapangan, harus segera diselesaikan dengan musyawarah mufakat dan sangat  menghindari menggunakan cara-cara  kekerasan. Penekanan kepada tokoh-tokoh adat, agama, dan masyarakat  untuk segera bertindak untuk mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik  harus bisa dilakukan. Pada tataran banjar pakraman sampai dengan desa pakraman,  peran  kelian banjar  pakraman dan kelian desa pakraman  sangat diharapkan.

c. Meredam potensi Konflik;

Untuk bisa meredam potensi konflik, aparat penegak hukum pada tataran banjar pakraman sampai dengan desa pakraman atau kelurahan perlu meningkatkan upaya penegakan hukumnya yang tanpa diskriminasi. Berbagai bentuk kegiatan dalam rangka mengintensifkan dialog antar kelompok masyarakat mulai dari tataran banjar pakraman , desa pakraman, sampai dengan tataran yang paling tinggi ditingkat provinsi, perlu dilaksanakan untuk dapat meredam potensi konflik.

d. Membangun sistem peringatan dini

Dalam membangun system peringatan  dini, langkah awal yang perlu dilakukan, pada tataran organisasi masyarakat yang paling rendah ditingkat banjar pakraman, desa pakraman, sampai dengan tataran yang paling tinggi ditingkat provinsi, perlu dibuat  wilayah potensi konflik, yang melalui berbagai media komunikasi, dapat disampaikan berbagai informasi  mengenai potensi konflik atau terjadinya konflik di daerah tertentu kepada masyarakat. Dengan berjalannya system peringatan dini, diharapkan konflik yang lebih besar dapat dihindari.

Pada tahap pencegahan, sangat penting  peran pemerintah daerah dalam memelihara kondisi damai dalam masyarakat, mengembangkan system penyelesaian perselisihan secara damai, meredam potensi konflik dan membangun system peringatan dini. Pemerintah daerah yang menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007, Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, khususnya yang menyangkut urusan kesatuan bangsa, maka  pemerintah daerah sangat dituntut untuk mencegah terjadinya konflik social di daerah. Begitu juga  dengan konflik social dalam rangka Pilgub Bali 2013.

Apabila pencegahan tidak dapat dilakukan dengan baik sehingga konflik social tidak dapat dihindari, maka penghentian konflik  harus dilakukan sampai dengan penanganan pasca konfliknya oleh  pihak berwewenang  yang juga telah diatur dalam dan menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS). Penghentian konflik yang diatur dalam UU PKS  itu lebih  menekankan  langkah-langkah  represif yang perlu dilakukan oleh aparat berwewenang  yang dikoordinasikan dan dikendalikan oleh Polri. Pada tulisan ini hal itu tidak dibahas, termasuk penanganan pasca konfliknya. Tulisan ini lebih menekankan pada tahap pencegahan konflik, sebagai langkah antisipatif   agar konflik social tidak berkembang menjadi konflik yang destruktif.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, mengalir dari pembahasan diatas, maka  kesimpulan yang dapat dibangun adalah:
Pemda Pemprov Bali maupun Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota,  perlu mengantisiapasi potensi konflik social  di Bali dalam rangka Pilgub 2013. Langkah antisipasi itu lebih ditekankan pada upaya pencegahan terjadinya konflik social diantara  partai politik pendukung masing-masing calon  beserta simpatisannya, termasuk antara partai politik  pendukung calon  dengan penyelenggra Pilgub yang mengarah pada konflik social  destruktif.

Menjadi prioritas bagi pemprov Bali maupun Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, untuk menginisiasi berbagai upaya menuju perdamaian dilingkungan masyarakat, mulai dari lingkungan masyarakat banjar pakraman, desa pakraman sampai dengan organisasi masyarakat tingkat provinsi. Hal yang sama juga dilakukan dilingkungan partai politik, dalam rangka mencegah  konflik social dengan kekerasan.

Daftar Bacaan:
Modul Manajemen Konflik Kewaspadaan Nasional Lemhannas RI , 2012
Galtung, Johan, 2003 Stdi Perdamaian . Perdamaain dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban,(terj) , Pustaka Eureka , Surabaya
Robinson, Geoffrey, 2005 Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik,LkiS, Yogjakarta

http://www.panwaslu-baliprov.net/, Jadwal Tahapan Pilgub Bali 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar